![]() |
Pemandangan anak-anak dibawak orangtuanya meminta-minda di tepi jalan Williem Iskandar. (foto/ist) |
Dalam perbincangannya dengan sejumlah wartawan, Syaiful secara terbuka menyatakan keraguannya terhadap pencapaian tersebut, khususnya di Sumatera Utara.
“Saya ragu Sumut bisa mencapai nol persen kemiskinan ekstrem di tahun 2026,” ungkap Syaiful, Minggu (11/5/2025). “Jumlah kemiskinan masih tinggi, kemiskinan terbuka pun belum tertangani. Belum lagi keterbatasan tenaga profesional seperti pekerja sosial di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.”
Menurut data hingga akhir 2024, tingkat kemiskinan di Sumut masih berada di angka 7,03% , dengan kemiskinan ekstrem sebesar 0,54% , dan kemiskinan terbuka mencapai 5,60% . Di sisi lain, masih terdapat 2.984 kepala keluarga di 69 lokasi Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang tersebar di 12 kabupaten.yang tersebar di 12 kabupaten.
Bagi Syaiful, menurunkan angka kemiskinan ekstrem bukan hanya soal anggaran. Lebih dari itu, diperlukan intervensi yang menyentuh langsung akar permasalahan sosial dengan pendekatan profesional dan humanistik.
“Pekerja sosial dibekali pemahaman budaya, kondisi sosial, serta sumber daya manusia dan alam di lokasi kemiskinan. Mereka siap turun langsung, bahkan ke daerah-daerah yang hanya bisa menjangkau dengan berjalan kaki berjam-jam, melintasi sungai, melewati hutan dan gunung,” tuturnya.
Ia menambahkan, penanganan kemiskinan harus diselaraskan dengan amanat Perpres No. 186 Tahun 2014 dan UU No.dan UU No. 13 Tahun 2011. Artinya, pekerja sosial perlu dilibatkan penuh dalam perencanaan dan pelaksanaan program, tidak hanya menjadi pelengkap.
Syaiful juga menyoroti masih banyaknya warga miskin yang “tak kasat mata” tapi nyata di pusat kota. "Lihat saja di simpang-simpang jalan Kota Medan. Ada ibu-ibu mengemis sambil gendong anak. Anak-anak usia sekolah mengamen bergantian. Di emperan toko, bapak-bapak tidur beralas kardus. Di mana kehadiran negara?" katanya lirih.
Ia pun menilai bantuan sosial (bansos) selama ini cenderung menciptakan budaya ketergantungan. “Bansos yang diperlukan saat bencana, bukan jadi solusi jangka panjang. Yang dibutuhkan saat ini adalah pemberdayaan, bukan belas kasihan,” tegasnya.
Namun demikian, Syaiful masih menyimpan secercah optimisme. Ia yakin target nasional dapat tercapai, asalkan ada sinergi nyata antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, serta pelibatan aktif pekerja sosial dan perguruan tinggi.
“Di Medan ada dua kampus dengan program studi kesejahteraan sosial. Kenapa tidak diberdayakan? Mereka bisa menjadi pilar penting dalam upaya besar ini,” tutupnya.[subari]