Kearifan Lokal, Ikan Endemik Batak di Lubuk Larangan Satahi Garoga

Editor: Admin
Kegiatan pembukaan lubuk larangan di Sungai Garoga, Desa Garoga, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan. (foto/ist)
LUBUK Larangan “Satahi” Desa Garoga, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, salah satu contoh sungai yang menerapkan kearifan lokal penangkaran ikan air tawar dengan sistem terbuka di Sumatera Utara, khususnya di wilayah Tapanuli. Di lubuk larangan ini terdapat ribuan ekor ikan dari berbagai jenis, mulai dari ikan mas, nila hingga jurung.

Pemeliharaan ikan di lubuk larangan “Satahi” ini merupakan bagian dari program pemberdayaan desa yang dilakukan pemerintah desa (Pemdes) Garoga.  Pemeliharaannya didukung oleh PT Agincourt Resources (PTAR), selaku pengelola tambang emas martabe Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan. 

Keterlibatan PTAR dalam hal itu sebagai bagian dari program environmental perusahaan itu dalam melestarikan endemik ikan di wilayah Batangtoru dan juga sebagai bagian dari pelestarian lingkungan melalui pengembangan kearifan lokal. 

Namun, dari ribuan ekor dari beberapa nama ikan yang hidup di areal sepanjang 1 km dengan lebar sekitar 7 meter di bawah jembatan Garoga, di Jalan Lintas Sibolga-Padangsidempuan itu, ada satu nama ikan yang memiliki daya tarik untuk dibahas. Pasalnya, ikan ini menjadi satu-satunya nama spesies ikan yang mengidentikan nama salah satu suku di Indonesia. Sehingga namanya pun dibuat menjadi nama ikan suku itu. 

Ya, nama ikan itu ikan jurung. Ikan jurung atau dalam bahasa latin disebut Neolissochilus sumatranus (Cyprinidae) ini, kerap disebut masyarakat batak “ihan batak”. Ikan jurung ini bahkan dinilai sakral oleh masyarakat batak. 

Pemerhati sosial budaya dan adat istiadat di Sibolga dan Tapanuli Tengah (Tapteng), Pendeta Vidcoy Manurung, mengaku kurang mengetahui pasti kenapa masyarakat batak menamai ikan endemic (ikan jurung) itu menjadi nama suku batak.[cut]

Hasil panen ikan lubuk larangan. (foto/ist)
Namun. pria yang kesehariannya bertugas sebagai pendeta di salah satu gereja lokal di Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah ini, menduga hal itu erat hubungannya dengan adat istiadat/budaya batak pada masa silam. Di mana, masyarakat batak waktu itu kerap menggunakan ikan jurung sebagai sarana untuk memberikan doa (bahasa batak=mangupa-upa) di hajatan tertentu. “Selain itu mungkin, ada jenis tertentu dari ikan jurung ini cuma ada ada wilayah Tapanuli,” ungkap Vidcoy, Rabu (30/4/2024).

Kemudian penamaannya itu juga, ucap Vidcoy, kemungkinannya juga erat hubungannya dari cara penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat batak dulunya dengan yang dilakukan oleh masyarakat suku lain.  Masyarakat batak dulu sebelum melakukan penangkapan ikan itu harus terlebih dahulu melakukan sebentuk ritual (bahasa batak martonggo/berdoa). 

Hal itu sesuai adat istiadat atau kebiasaan masyarakat batak dulu ketika pergi ke suatu tempat untuk mencari atau mengerjakan sesuatu sebagai sumber nafkah. Apalagi bila tempat yang akan didatangi dianggap sakral.

“Maka itu, ikan jurung ini dianggap sakral oleh masyarakat batak. Karena sebelum berangkat, masyarakat batak terlebih dahulu melakukan sebentuk ritual doa karena mengingat lokasi untuk pencarian kerap jauh dan kadang tempat-tempat penangkapan, semisal lubuk, kerap dianggap sakral. Terlebih lagi pada penangkapannya juga dulu, tidak boleh dilakukan sembarangan, dan hanya bisa menggunakan tangan atau tanpa alat tertentu, seperti jaring, tombak atau pancing,”terangnya.

Selanjutnya, sambung Vidcoy, penamaan ikan jurung menjadi ihan batak kemungkinan besarnya juga didukung oleh peranan raja-raja batak waktu itu. Bukan karena harganya yang mahal dan masyarakat batak waktu itu tidak bisa membelinya, tapi karena semangat dari raja untuk mengkonsumsi ikan tersebut. Sebab sebelum dijajakan ke masyarakat, ikan tersebut harus terlebih dahulu ditawarkan kepada raja.

“Jadi, masyarakat batak dulu, baru bisa mengkonsumsinya kalau raja mereka sedang tidak semangat untuk mengkonsumsinya,”imbuh Vidcoy. 

Salah seorang warga, Hiras Pasaribu (54), membenarkan hal itu. Dia juga berpendapat sama bahwa pembuatan nama ikan jurung menjadi ikan batak itu erat kaitannya dengan adat budaya dan nilai sakral ikan tersebut. [cut]

Kegiatan pembukaan lubuk larangan di Sungai Garoga, Desa Garoga, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan. (foto/ist)
Dia pun lantas mengapresiasi pihak Pemerintah Desa Garoga dan masyarakat Desa Garoga yang telah melestarikan ikan batak tersebut lewat pengadaan lubuk larangan. Begitu juga kepada pihak PTAR yang ikut terlibat dalam pelestarian salah satu jenis ikan endemic batak tersebut. 

Soalnya, kata dia, Dewan Konservasi Alam Internasional (International Union Conservation Nature/IUCN) telah memasukkan ikan batak ke dalam Daftar Merah (Red List) berkategori Vulnerable (VU) karena rentannya ikan batak terhadap kepunahan dari habitatnya. Bahkan KKP pun memasukkan ikan batak ke dalam jenis ikan yang statusnya dilindungi secara penuh. Hal itu tertulis di Surat Keputusan Menteri KKP nomor 1 tahun 2021 tentang Jenis Ikan Yang Dilindungi

“Ikan batak ini memang harus dibudidayakan. Karena memang ikan batak ini sudah langka atau sangat sulit ditemukan. Apalagi nilai sakral dalam ikan batak dalam peruntukan adat (mangupa) atau peruntukan tertentu, saya lait lebih mumpuni dibanding dengan ikan mas yang digantikan peruntukannya saat ini,” kata Hiras, yang mengaku SMA sering mencari ikan batak di sungai di kampung halamannya di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. 

Sementara itu, Berri Untung Sianturi, salah seorang pemuda batak yang sering melakukan penangkapan ikan air tawar di sungai-sungai di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah mengakui sulitnya menangkap ikan batak sekarang ini, terutama di daerah yang dekat pemukiman masyarakat. Hal itu juga terlihat dari sulitnya atau tidak adanya ditemukan ikan itu dipasaran atau dikedai-kedai makan. 

“Kalau dikatakan ikan batak langka, boleh dikatakan iya. Tapi, saya sering mendapatkan ikan batak ini, karena saya sudah mempelajarinya dan mengetahui tempat-tempat untuk penangkapannya. Karena hampir semua sungai di Tapanuli Tengah, khususnya di Kecamatan Sorkam, Kolang, Sitahuis, dan Tapian Nauli, sudah saya datangi,” ujarnya.   

Kepala Lingkungan I Desa Garoga, Tua Parlaungan Simatupang, juga membenarkan hal itu. Dia juga tidak menampik bahwa ikan batak sekarang ini begitu langka. Namun demikian, Tua kurang mengetahui kenapa ikan jurung yang dulunya dipergunakan oleh masyarakat batak untuk acara adat tersebut disebut ikan batak. 

“Yang pastinya, ikan jurung atau ikan batak itu, banyak kita pelihara di lokasi lubuk larangan ‘Satahi” yang kita buat dari Pemerintah Desa dengan Masyarakat Garoga. Hasil panennya dilakukan sekali setahun seminggu selepas hari raya idul fitri,” tuturnya.[cut]

Hasil panen ikan lubuk larangan. (foto/ist)
Masdar Muda Hasibuan selaku Manager Community Relation didampingi Sogi Maskat selaku Superintendent Community Relation PTAR, mengatakan dalam upaya pihaknya melestarikan endemic lokal ikan air tawar, khususnya ikan jurung atau biasa disebut ikan batak di wilayah Batangtoru, pihaknya telah memberikan support dan dukungan kepada 5 desa di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dalam melakukan konservasi sungai lewat pembuatan lubuk larangan. Selain desa Garoga, empat lainnya yakni Batu Horing, Aek Ngadol, Desa Sumuran dan Desa Sipenggeng.

“Tahun ini, insaallah, kita ekstern lagi dua desa. Kenapa ini penting, karena lubuk larangan ini lah yang menjadi semacam local wisdom, bagaimana masyarakat secara tradisional, adat dan budaya, bisa melestarikan sungai dengan spesies ikannya. Dari awal mereka menangkap ikan secara brutal, pakai strum dan segala macam, sekarang sudah tertib. Dan yang menjadi tantangan kita sekarang ini bagaimana menjaga sampah plastik,” tukasnya.

Pada 2021, PTAR memberikan bantuan bibit ikan ke Lubuk Larangan ‘Satahi” sebanyak 17.000. Dari seluruh jenis ikan tersebut, sebagian besarnya merupakan ikan Jurung atau ikan batak.

Ikan batak memiliki cuping berukuran sedang di bibir bagian bawah. Ikan batak juga memiliki sirip punggung yang berbentuk cekung dengan ujung sirip ekor nya meruncing. Tubuh ikan batak betina cenderung lebih kembung dari jantannya, dan ikan batak jantan memiliki warna yang lebih gelap dari betina.

Ikan batak ini banyak ditemui di perairan dangkal danau yang berarus deras, pada kedalaman 4-5 meter dengan dasar berpasir atau bebatuan. Namun ketika usia nya bertambah, ikan batak lebih memilih berenang di bebatuan dasar danau sampai kedalaman maksimal 15 meter.

Ikan batak juga menyukai perairan yang jernih bersuhu sekitar 16-26 derajat celcius dan memiliki kandungan oksigen tinggi. Ikan batak adalah hewan nokturnal, dan saat siang hari ikan ini akan lebih banyak berdiam di balik bebatuan. (jhonny simatupang)

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com