MENGAPA HARUS IJECK?

UNTUK hari ini, apakah masih ada pilihan yang lebih masuk akal untuk memimpin Sumatera Utara selain nama Musa Rajekshah? Coba sebutkan satu nama saja

Editor: Admin
Tikwan Raya Siregar.(foto/istimewa)
UNTUK hari ini, apakah masih ada pilihan yang lebih masuk akal untuk memimpin Sumatera Utara selain nama Musa Rajekshah? Coba sebutkan satu nama saja untuk dibandingkan dengan reputasi dan ketokohannya sebagai putra daerah. 

Mungkin ini terdengar sangat partisan. Tapi taruhlah kita buang dulu faktor Partai Golkar-nya. Mari kita memandang dari sebuah posisi yang lebih bebas tanpa beban.

Pertama, dari segi usia. Ijeck lahir 1 April 1974. Artinya, usianya saat ini 50 tahun. Sebuah usia yang sangat ideal dan matang dalam kepemimpinan. Usia setengah abad sering disebut sebagai golden age (usia emas) bagi seseorang. Pada usia ini, kebijaksanaan mencapai puncaknya. Dia masih memiliki keberanian, tapi juga sudah cukup kebijaksanaan. Tidak terlalu tua, juga tidak lagi terlalu muda. Tidak terlalu gegabah, tapi juga tidak terlalu konservatif.

Mengenai kisah kelahiran Ijeck, demikian dia biasa disapa, saya dapat gosip ringan dari almarhum Haji Anif, ayahandanya sendiri. Beliau bilang, "Si Musa itu lahirnya aneh. Dia dikandung Ibunya 12 bulan. Cukup bandel dia dulu itu. Kemauannya kuat. Pemberani. Tapak tangannya aja selebar muka orang. Jadi kalau dia nampar, fatal jadinya," tutur H. Anif seraya terkekeh mengenang sifat-sifat anak-anaknya. Di antara mereka, memang Ijeck yang sering dikisahkannya. Maklum, dia anak lelaki tersulung kedua yang mempunyai minat kuat untuk pendidikan.

Kami sekeluarga biasanya diundang khusus H. Anif ke rumahnya saban Lebaran melalui pesan WA atau menelepon langsung dengan suaranya yang khas berat. Belakangan, dia lebih suka pakai pesan WA karena pendengarannya mulai berkurang.

Sebagai tokoh besar, dengan segudang pengalaman hidup, H. Anif tentu memiliki naluri tajam tentang keberadaan anak-anaknya sendiri. Untuk urusan sosial kemasyarakatan, dia sangat meyakini Ijeck. Sebab anak kedua tersulungnya ini punya karakter memimpin, lebih hati-hati, kemauan keras, dan ketertarikan pada dunia intelektual. 

Keyakinannya itu diulanginya ketika saya berkesempatan menemaninya sekitar dua jam--berakhir dengan shalat Maghrib-- di sebuah apartemen di Kuala Lumpur saat H. Anif harus melakukan tindakan medis untuk lututnya yang sakit. Faktor usia dan bobot badannya yang besar telah menyebabkan tungkainya harus dibantu alat khusus agar ia tetap dapat berjalan normal.

Kedua, faktor pengalaman. Ijeck bukanlah organisatoris debutan. Ketokohannya telah menonjol sejak muda, terutama di bidang olahraga. Dia tercatat sebagai pembalap rally yang serius, atlet karate, dan aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan. Pengalaman organisasi telah mengajarkannya untuk berhadapan dengan banyak perbedaan pikiran, perbedaan kultur, dan perbedaan keyakinan. Ia diterima oleh semua kalangan, dan dibesarkan dengan nilai-nilai kebangsaan yang multikultural. Tidak heran bila kemudian Ijeck akhirnya berlabuh pada Partai Golkar, yaitu sebuah partai lawas yang telah melewati banyak dinamika kebangsaan dan perubahan-perubahan politik. Bersama partai ini, Ijeck kemudian menjalankan tugas pertamanya sebagai pejabat negara dengan posisi Wakil Gubernur Sumatera Utara (2018-2023).

Ketiga, memiliki puncak capaian dalam dunia akademik. Ijeck menyelesaikan pendidikan doktoralnya pada Jumat, 12 Januari 2024 di Pascasarjana USU ketika sidang penguji meluluskan disertasinya yang berjudul "Model Relasi Kekuasaan, Studi Kasus: Kepemimpinan di Kabupaten Deliserdang Periode 2004-2024" dengan predikat Sangat Memuaskan. Keberhasilan dalam pendidikan adalah bukti ketekunan Ijeck dalam mengerjakan sesuatu, dan menjadi pendukung yang penting dalam praktik kepemimpinannya. Pendidikan memberikan sumbangan pada cara berpikir seseorang agar lebih terstruktur, terukur, rasional, metodologis, dan memiliki pendekatan yang jelas terhadap masalah.

Keempat, memiliki reputasi politik yang membanggakan. Ajang Pemilu 2024 adalah gelanggang pembuktian yang tak terbantahkan bagi Ijeck di dunia politik. Dia menerima tongkat kepemimpinan DPD Golkar Sumut di tengah bayang-bayang konflik internal yang cukup parah pada masa itu. Kepentingan pragmatis membuat berbagai faksi internal terjebak ke dalam kompetisi yang tidak produktif. Ijeck bekerja keras membenahi organisasi partai, menjamin bahwa semua lini dan tingkatan pengurus bekerja secara maksimal, dan hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Dampaknya luar biasa. Partai Golkar Sumut tercatat sebagai DPD terbaik di Indonesia dalam hal peningkatan raihan kursi dan suara untuk DPR RI, DPRD Sumut, dan DPRD kabupaten/kota se-Sumut. [cut]

Tikwan Raya Siregar.(foto/istimewa)
Ijeck sendiri lolos sebagai anggota DPR RI terpilih dari daerah pemilihan paling ketat persaingannya. Selain memiliki reputasi dalam hal perolehan suara, Ijeck juga dikenal memelihara kesantunan dan etika politik dalam kepemimpinannya. Dia berulangkali mengingatkan secara tegas kepada kader-kadernya untuk menjauhkan diri dari perilaku curang, sikut-sikutan, dan kampanye negatif. Siapa yang melakukannya, diancam dengan sanksi keras. Semua capaian ini dibuktikannya sebagai kapasitas pribadi, bukan karena faktor ketokohan ayahnya--karena peristiwa ini terjadi setelah Ayahandanya wafat--dan bukan karena prestise kekuasaan. Ayahnya memberikannya karakter, dan para senior partai memberikannya nasihat, tapi Ijeck mengambil risiko dengan merespon tantangan politik riil melalui pikiran dan kebijaksanaannya.

Kelima, memiliki pribadi relijius. Selain menganut paham kebangsaan (nasionalisme) yang multikultural, Ijeck juga dikenal sebagai pribadi yang relijius. Kemanapun dia pergi dan melakukan kunjungan, kewajiban ibadah-nya tidak tertunda. Dia mengajak semua rombongannya yang Muslim untuk senantiasa melakukan shalat Subuh berjamaah, sembari memanfaatkan momen itu untuk bertemu langsung dengan masyarakat lokal. Ijeck juga meneruskan kebiasaan Ayahnya untuk pergi melaksanakan umrah pada waktu-waktu lapang. Bahkan secara rutin, Yayasan Haji Anif yang dipimpinnya tidak berhenti keliling membersihkan masjid-masjid di seputaran Medan dan Deli Serdang sebagai bakti kepada umat dan Tuhannya.

Keenam, tidak impulsif. Ijeck bukanlah sosok yang menyukai kejutan atau kagetan. Dia memiliki bawaan yang tenang, teratur, dan penuh perencanaan. "Proses yang baik dan kerja keras tidak akan mengkhianati hasil," ucapnya berkali-kali. Melalui gaya kepemimpinan Ijeck, organisasi dan partai bekerja secara terpandu, meskipun dalam proses sebelum mengambil keputusan ia terbuka untuk dinamika gagasan, tapi setelah keputusan diambil, ia akan menuntut komitmen pada semua anggota maupun kadernya untuk loyal terhadap keputusan itu.

Ketujuh, memiliki sense of enterpreneurship dan pikiran terbuka terhadap perkembangan teknologi informasi. Sumatera Utara telah melewati pengalaman memiliki pemimpin yang hampir seluruhnya berasal dari birokrasi, militer, dan politisi karir, dengan pengecualian pada Rudolf Pardede yang masa kepemimpinannya sangat singkat. Padahal daerah ini termasuk satu di antara hub perekonomian nasional dengan basis industri perkebunan, pertambangan, perdagangan, dan kegiatan hilir yang sedang berkembang. Karakter wirausahawan sangat diperlukan untuk merancang dan mengeksekusi program-program strategis demi tujuan meningkatkan nilai tambah, pelayanan, integrasi usaha, dan penyelenggaraan investasi untuk meningkatkan PAD dan lapangan kerja. Wawasannya mengenai dinamika UMKM dan ekonomi kreatif pernah saya dengarkan sendiri ketika ia berkunjung ke rumah saya pada masa-masa kampanye menjelang Pilgubsu 2018. Dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar industri rumahan kami secara relevan dan mendasar. Dia memahami masalahnya dan memberikan masukan yang diperlukan.[cut]

Tikwan Raya Siregar.(foto/istimewa)
Kedelapan, lebih cenderung memiliki orientasi pengabdian. Lahir dan besar dari keluarga yang memiliki basis ekonomi kuat, maka secara psikologis, kebutuhan pribadi seorang Ijeck sudah tentu akan naik dari ekonomi elementer kepada level pengakuan. Untuk itu yang paling mungkin dikejarnya dalam kepemimpinan adalah prestasi dan legasi. Kondisi demikian membuat Ijeck lebih menghargai kehormatan dan gengsi (rasa malu) ketimbang hal-hal yang merugikan nama baiknya dan keluarganya. 

Tentu masih banyak faktor yang dapat diungkapkan dan dipertimbangkan untuk meletakkan pribadi Ijeck ke dalam prioritas pertama kursi kepemimpinan di propinsi ini, demikian juga segala kekurangannya yang harus ditutupi oleh orang-orang terbaik di sekelilingnya. Namun, angin politik kadang-kadang bermata buta. Kepentingan-kepentingan tertentu dapat mematahkan normatif-normatif ini. Saya dapat mengatakan, seluruh organ partai di akar rumput sangat mendukung Ijeck untuk maju ke Pilgubsu 2024 mendatang dengan rasa bangga. 

Apabila ternyata peta politik nasional telah mengabaikan indikasi yang sangat terang ini, maka DPP Partai Golkar telah membuang bakat besar seorang kader terbaiknya dan mengabaikan peluang untuk membesarkan partai ini ke depan melalui karya kepemimpinan,  kharisma dan potensi diri kadernya.

Dalam perspektif yang lebih luas, mengabaikan fakta ini berarti merugikan rakyat Sumatera Utara yang mendambakan pemimpin kuat untuk mengembalikan pamor propinsi yang pernah beberapa kali jatuh marwahnya karena cacat moral dan kepemimpinan yang lemah. Bila demikian, pilihannya akan dikembalikan kepada rakyat, khususnya kader-kader Partai Golkar sendiri di akar rumput. Sebab, jangan harapkan perlawanan politik akan datang dari diri Ijeck sendiri. 

Karena semua orang tahu, dia bukanlah sosok yang suka konflik dan dalam karir politiknya Ijeck cenderung loyal kepada ketentuan, keputusan, dan kepemimpinan partai yang lebih tinggi. Bagi Partai Golkar sendiri, apabila Pusat tidak berani menugaskan kader terbaiknya menjadi benih-benih tokoh nasional dari jenjang propinsi, maka ini akan menjadi preseden yang dapat mematahkan semangat para kader untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi partai. (*)

Penulis : Tikwan Raya Siregar, warga Kota Medan.

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com