![]() |
Tokoh Pendidikan Sumut, Drs Syaiful Syafri MM. (foto/ist) |
Tokoh pendidikan sekaligus mantan birokrat Sumut, Drs Syaiful Syafri,MM, menyebutkan bahwa tanpa guru sesuai bidang studi, proses belajar mengajar akan timpang. Hal ini membuat siswa di sekolah negeri tertinggal dibanding sekolah swasta yang umumnya lebih lengkap memiliki guru sesuai kompetensi.
“Setiap tahun ajaran ada guru dan kepala sekolah yang pensiun. Kalau tidak segera diganti, kualitas pendidikan di Sumut akan makin tertinggal dibanding provinsi lain,” ujar Syaiful kepada wartawan, Jumat (22/8/2025) di Kantor DPW PKB Sumut, Jalan Walikota Medan.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan Nasional 2023, Sumut memiliki 438 SMA negeri, 612 SMK negeri, dan 64 SLB negeri. Namun, keterbatasan guru membuat banyak kelas diajar oleh tenaga yang tidak sesuai bidang studinya. Bahkan, tak sedikit guru yang terpaksa merangkap sebagai tata usaha, operator, hingga pengelola perpustakaan akibat minimnya tenaga administrasi.
Menurut Syaiful, permasalahan semakin pelik karena kepala sekolah atau pelaksana tugas (Plt) kepala sekolah enggan mengangkat guru honorer. Padahal, keberadaan guru honorer bisa menjadi solusi sementara untuk mengisi kekosongan, terutama pada mata pelajaran inti seperti Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi.
“Banyak kepala sekolah takut dicopot karena aturan melarang pengangkatan honorer. Akhirnya, kelas kosong atau diajar guru yang bukan bidangnya. Ini jelas merugikan siswa,” tegasnya.
Syaiful menilai Dinas Pendidikan Sumut harus segera mengambil kebijakan cepat dengan mengizinkan sekolah mengangkat tenaga honorer, minimal sampai ada pengangkatan guru ASN atau PPPK baru.
Menurutnya, pembiayaan guru honorer bisa sementara ditanggung melalui komite sekolah yang bersumber dari orang tua siswa, sebelum mendapat alokasi resmi dari APBD atau APBN.
Ia juga menyoroti kondisi sekolah dasar negeri (SD Inpres) di pedesaan. Jika di perkotaan saja kekurangan guru sudah terlihat, maka sekolah di desa-desa terpencil yang minim akses informasi dan komunikasi tentu menghadapi masalah yang lebih serius.
“Jangan biarkan siswa jadi korban. Apalagi bagi pelajar kelas XII SMA/SMK yang sebentar lagi akan menghadapi ujian dan bersaing masuk perguruan tinggi. Harus ada solusi cepat agar mereka tetap mendapat pendidikan yang layak,” pungkasnya.[subari]